KONTEN
Konten atau materi pelajaran
sebenarnya merupakan komponen kurikulum yang amat penting. Konten menyangkut
jawaban terhadap pertanyaan, “apakah yang diajarkan?”. Konten ini seringkali
tidak diperhatikan. Artinya, konten seringkali diserahkan saja pada keputusan
guru atau diambil saja dari buku teks yang berlimpah-limpah, tanpa mengaitkan
dengan tujuan pendidikan, tujuan kurikulum atau dengan tujuan instruksional.
Hal
yang sama juga terjadi sebelum timbulnya reformasi kurikulum pada tahun 1960,
terutama di Amerika Serikat. Semua orang memberikan perhatian lebih terhadap
metode, media dan strategi yang digunakan dalam belajar, namun kurang
memperhatikan isi yang disampaikan. Oleh karenanya ahli kurikulum harus
memahami hakekat dan struktur konten yang menyangkut apa yang akan diajarkan.
Karena konten merupakan elemen kedua yang penting setelah tujuan untuk menyusun
kurikulum.
Kalau
dikaji kembali pengertian kurikulum yang sangat berbeda-beda, juga akan
menghasilkan perumusan konten yang berbeda-beda. Sesuai dengan gambaran konsep
yang terkandung di dalam pengertian kurikulum yang diajukan tersebut. Seperti
yang telah ditinjau, ada yang mengartikan kurikulum sebagai mata pelajaran,
materi pelajaran atau judul-judul mata pelajaran. Jika seperi ini, maka rencana
tersebut tidak layak lagi disebut sebagai kurikulum tetapi sebagai judul-judul
pokok bahasan.
Secara
singkat dapat dilihat bahwa Beaucham menyatakan bahwa kurikum itu sebagai
dokumen yang dipakai sebagai titik tolak perencanaan instruksional, Taba dan
Mocdonal mengartikan sebagai pengalaman belajar dan hasil belajar yang
dibimbing dan direncanakan, yang tidak tertulis, Krug dan Doll mendefenisikan
sebagai pengalaman belajar yang dirancang sekolah dan Tanner dan Tanner
mendefenisikan sebagai pengalaman peserta didik. Berdasarkan pemahaman
masing-masing juga menimbulkan kontek yang berbeda-beda.
Implikasi
dari pengertian kurikulum tersebut bahwa pengertian kurikulum lebih luas dari
pada dokumen atau rencana kurikulum tertulis saja, tetapi mencangkup juga
implementasinya di dalam kelas untuk dapat ditransformasikan agar menjadi
pengalaman belajar yang direncanakan mencapai tujuan pendidikan dan tujuan
pembelajaran.
1. Konsep Konten
Konsep
konten menurut Saylor dan Alexander (1966:160) adalah:
Fakta,
observasi, data, persepsi, klasifikasi, disain dan pemecahan masalah yang telah
dihasilkan pengalaman dan hasil pikiran manusia yang tersusun dalam bentuk
ide-ide, konsep, prinsip-prinsip, kesimpulan, perencanaan dan solusi.
Sedangkan
menurut Hymen (1973:4) konten merupakan:
Ilmu
pengetahuan (seperti fakta, keterangan, prinsip-prinsip, defenisi),
keterampilan dan proses (seperti membaca, menulis, berhitung, menari, berpikir
kritis, berkomunikasi lisan dan tulisan) dan nilai-nilai (seperti konsep
tentang hal-hal baik, buruk, betul dan salah, indah dan jelek)
Dari
dua pengertian yang diajukan, dapat diterima bahwa secara umum konten kurikulum
mencakup tiga komponen utama, yaitu pengetahuan, proses dan nilai-nilai. Namun
ada juga ahli yang membedakan kedua konsep tersebut. John Dewey misalnya,
menilai perbedaan materi dengan ilmu pengetahuan sangat esensil. Bagi ahli yang
membedakan mengartikan bahwa materi atau konten merupakan catatan-catatan
tentang pengetahuan (seperti grafik, simbol, rekaman dll), sedangkan ilmu
pengetahuan dipandang sebagai sesuatu hasil pemahaman dan pengertian tentang
catatan-catatan tersebut sebagai akibat interaksinya dengan pengalaman individu
Sejalan
dengan yang dikemukan, perancang kurikulum yang merancang materi kurikulum
harus menetapkan berdasarkan pertimbangan makna materi tersebut bagi individu.
Penetapan kurikulum tidak hanya dipilih sebagai materi saja, tetapi selalu
dipilih sebagai ilmu pengetahuan (pengetahuan, keterampilan dan ilmu)
Ada
dua penyebab yang menimbulkan jurang pemisah antara materi dengan ilmu
pengetahuan:
- Materi kurikulum gagal ditransformasikan menjadi pengalaman belajar oleh guru melalui implementasi kurikulum.
- Pengalaman anak sangat berbeda dengan pengalaman orang dewasa sehingga materi yang sama dipahami oleh kedua pihak secara berbeda.
Perbedaan
materi dengan ilmu pengetahuan ini dapat menimbulkan ketidakpahaman dan
ketidaksadaran ahli kurikulum atas perbedaan psikologi orang dewasa dan
anak-anak. Akibat yang fatal dari ketidaktahuan perbedaan dua konsep ini
menimbulkan anak didik hanya belajar verbal. Yaitu belajar bagi kepentinngan
sekolah, bagi tujuan hafalan dan naik kelas yang keberhasilan ditentukan pada
hasil ujian hafalan. Karena materi yang disampaikan dianggap orang dewasa
sebagai ilmu pengetahuan, sedangkan anak didik menilainya hanya sekedar
informasi.
2. Proses sebagai konten
Proses
pengajaran sebagai lawan dari materi pengajaran sangat penting. Pengajaran
konten kurikulum secara tradisional yang ditekankan pada pemompaan konten
sebanyak mungkin berupa data, informasi, fakta, dalil, rumus dan lain
sebagainya. Akibatnya terjadi belajar verbal. Dalam pelaksanan pemompaan ini
sebagai hal yang logis bahwa kalau sebagian besar konten yang diajarkan itu
cepat dilupakan anak, tetapi suatu proses seperti penghafalan, kepenurutan pada
seseorang, ketergantungan pada guru, penerimaan tanpa kritis pada suatu ide
tertinggal dan berbekas dalam benak anak. Walau hal ini tidak diharapkan
kurikulum, namun sepertinya ini yang menjadi hal penting yang terdapat di dalam
kurikulum. Meskipun itu hal yang tak disadari saat menyampaikan kurikulum.
Keadaan seperti ini juga sering disebut dengan kurikulum terselubung.
3. Kegiatan dan pengalaman Belajar
Kegiatan
belajar seringkali diasosiasikan dengan kegiatan seperti membaca, mendengar,
menjawab pertanyaan, melakukan perintah guru dan lain sebagainya. Oleh karena
itu, sudah merupakan merk pelajaran dari suatu kurikulum yang terselubung
menjelma menjadi anggapan anak-anak bahwa kalau tidak ada yang memberikan
informasi atau perintah-perintah maka tidak ada belajar. Meski selama ini tidak
terlalu banyak perubahan tingkah laku yang dialami anak dengan diajarkannya
cara-cara seperti itu. Jadi, jangan heran kalau pemompaan informasi, data,
fakta berpengaruh sangat sedikit sekali terhadap perilaku anak.
Untuk
mempengaruhi tingkah laku anak ini, kegiatan belajar sebagai komponen
pembelajaran yang sangat penting dan bermanfaat lebih signifikan pengaruhnya,
sebab kegiatan-kegiatan itulah yang mempengaruhi pengalaman dan pendidikan
pelajar. Pengalaman belajar jarang terwujud dari materi atau konten saja,
memiliki tujuan yang baik, konten yang tepat serta prosedur evaluasi yang cocok
ternyata juga belum memadai jika kegiatan belajar tidak diprogramkan untuk
menghasilkan pengalaman yang diinginkan.
Implikasi
konsep ini adalah bahwa penetapan konten, materi, pokok-pokok bahasan dan tugas
lain yang diselesaikan guna menurut suatu kurikulum saja kurang memadai. Materi
tersebut hendaknya harus dilengkapi dengan kegiatan belajar yang dapat
ditransformasikan menjadi pengalaman siswa. Akibatnya, materi konten yang
tersusun rapi perlu suplementasi berupa kegiatan belajar terencana dan terpadu
untuk menimbulkan pengalaman belajar bagi pencapaian tujuan kurikulum tersebut.
4. Kriteria penetapan konten
a. Signifikansi
Kriteria
signifikansi dipakai untuk menetapkan bagian apa dari suatu bidang yang perlu
dimasukkan atau ditekankan.
b. Kebutuhan sosial
Mempertibangkan
kebutuhan sosial anak agar mereka memiliki kemampuan untuk melaksanankan
fungsi-fungsi sosial dan meningkatkan nilai-nilai masyarakat. agar berfungsi
sebagai orang dewasa kelak.
c. Kegunaan
Merupakan
kriteria yang paling ilmiah jarena diperoleh dari hasil penelitian di lapangan.
Pengetahuan, keterampilan dan sikap seperti apa yang diharapkan masyarakat dari
lulusan. Tujuan pendidikan dan tujuan sekolah dapat pula ditetapkan dengan
hasil temuan ini.
d. Minat
Merupakan
salah satu usaha untuk membuat kurikulum relevan dengan peserta didik. Hal yang
menjadi minat bagi pelajar perlu dijabarkan untuk menghindari penetapan konsep
yang mungkin tidak sesuau dengan minat mereka seungguhnya
e. Perkembangan manusia
Ini
didasarkan pada asumsi bhawa sekolah bukan saja merefleksikan masyarakat,
tetappi juga sebagai alat untuk mencerdaskan dan mengembangkan manusia untuk
perubahan sosial.
f. Struktur disiplin ilmu
Kriteria
ini didasarkan anggapan bahwa setiap disiplin ilmu mempunyai struktur
tersendiri karena itu materi kurikulum harus mencakup kajian yang menungkinkan
anak memahami struktur bidang ilmu tertentu.
No comments:
Post a Comment