PONDASI PSIKOLOGIS KURIKULUM
*Ornstein & Hunkins Chapter 4
Psikologi berkenaan bagaimana orang belajar dan memberikan dasar untuk memahami
proses belajar-mengajar. Pertanyaan lain yang menarik ahli psikologi dan ahli
kurikulum adalah: Bagaimana seharusnya kurikulum disusun untuk meningkatkan
belajar?
Bagi John Dewey,
psikologi merupakan dasar untuk memahami bagaimana individu
pembelajar berinteraksi dengan objek dan orang dalam lingkungannya. Proses
tersebut berlangsung selama hidup, dan kualitas interaksi menentukan banyak dan
jenis belajar. Ralph Tyler menganggap psikologi sebagai saringan untuk membantu
menentukan apa saja tujuan kita dan bagaimana belajar kita terjadi. Yang
lebih baru, Jerome Bruner menghubungkan moda-moda berpikir yang mendasari
metode yang digunakan dalam berbagai bidang ilmu yang terdiri dari
disiplin-disiplin ilmu khusus. Tujuan memanfaatkan metode ini ialah untuk
memformulasi konsep, prinsip, dan generalisasi yang membentuk struktur disiplin
ilmu. Singkatnya, psikologi adalah unsur yang menyatukan proses belajar; ia
membentuk dasar untuk metode, materi, dan aktivitas belajar, dan ia juga
berfungsi sebagai daya pendorong untuk membuat keputusan kurikulum (Ornstein
& Hunkins, 1988).
Menurut sejarah, teori belajar yang utama diklasifikasikan atas dua kelompok:
(1) teori-teori asosiasi atau behavioris dan (2) teori medan kognitif.
Behaviorisme
Para behavioris, yang mewakili psikologi tradisional, berakar pada spekulasi
filosofis tentang hakikat belajar – ide-ide Aristoteles, Descartes, Locke, dan
Rousseau. Mereka menekankan pengkondisian prilaku dan pengubahan lingkungan
untuk memancing respon yang diharapkan dari pembelajar. Teori ini mendominasi
psikologi abad ke dua puluh, khususnya selama paruh pertama abad; ia telah
berubah menjadi aliran utama untuk menjelaskan proses belajar.
Koneksionisme
Salah satu orang Amerika yang melakukan pengujian eksperimental tentang ide Stimulus-Respon
(atau pengkondisian klasik) adalah Edward Thorndike. Di Harvard, Thorndike
melakukan percobaanya dengan binatang. Ia mendefinisikan belajar sebagai
pembentukan kebiasaan dan mengajar sebagai mengatur kelas untuk meningkatkan
hubungan yang diharapkan sebagai ikatan.
Thorndike
mengembangkan tiga hukum belajar yang utama:
1)
Hukum Kesiapan, ketika satuan konduksi siap bertindak, maka bertindak akan
menyenangkan dan tidak bertindak menjadi menyebalkan,
2)
Hukum Latihan–koneksi diperkuat sebanding dengan banyak kalinya
perulangan, dan sebanding dengan intensitas dan durasinya; dan
3)
Hukum Efek–respon yang disertai kepuasan perlu untuk memperkuat koneksi;
sebaliknya respon yang disertai ketidaksenangan akan melemahkan koneksi.
Hukum Kesiapan menyatakan bahwa bila susunan syaraf sudah siap untuk
bertindak, maka ia akan mengarah pada keadaan menyenangkan; ini telah disalah
interpretasikan oleh sebagian pendidik sebagai kesiapan mengikuti pendidikan.
Hukum Latihan memberikan pembenaran pada latihan, pengulangan, dan review
dan sekarang diterapkan pada pendekatan pembelajaran ketrampilan dasar dan
modifikasi prilaku. Hukum Effek Thorndike, membenarkan teori penghargaan dan
hukuman yang telah diterapkan di sekolah berabad-abad sebelumnya. Model prilaku
operant B.F. Skinner, pembelajaran terprogram, dan ide-ide baru yang didasarkan
pada pemberian pengalaman yang menyenangkan serta penguatan dalam bentuk
umpan balik berakar pada hukum ini.
Thorndike
meyakini bahwa:
1)
prilaku tampaknya lebih dipengaruhi oleh kondisi belajar,
2)
sikap dan kemampuan pembelajar bisa berubah (dan meningkat) seiring
waktu melalui stimulus yang tepat,
3)
pengalaman belajar dapat dirancang dan dikontrol, dan
4)
perlu memilih stimulus yang tepat atau pengalaman belajar yang terintegrasi dan
konsisten dan yang saling menguatkan. Menurut Thorndike kemampuan meningkatkan
pikiran sama bagi semua orang, dan belajar adalah perkara menghubungkan yang
baru dengan yang lama. Jadi, psikologi disiplin mental mendapat tantangan dari
hukum ini dan itu berarti bahwa tidak ada lagi hirarki matapelajaran.
Walaupun koneksionisme tidak lagi sepopuler dulu, praktik-praktik yang terkait
dengannya tetap berlanjut dengan label baru. Dan walaupun model belajar
Thorndike memiliki pengaruh langsung yang minimal saat sekarang, banyak
asumsinya yang terkait dengan belajar masih terbukti benar (Ornstein &
Hunkins, 1988)
Pengaruh
Thorndike: Tyler, Taba, dan Bruner
Bertepatan dengan teori-teori Thorndike, Tyler dan Taba menyatakan bahwa
belajar memiliki aplikasi dan karenanya dapat ditransferkan ke situasi lain.
Ini berarti bahwa belajar hapalan dan mengingat tidak perlu. Menurut Thorndike,
cara belajar terbaik adalah dengan metode yang paling langsung, yang bertepatan
dengan pendekatan logis dan behavioris yang diusulkan Tyler dan Taba. Tetapi,
baik Taba maupun Tyler tidak sependapat dengan pendapat Thorndike tentang
hubungan stimulus dan respon. Mereka malah memberikan pandangan umum tentang
belajar, yang terkait dengan pendekatan kognitif. Sementara Bobbit dan Charters
sependapat dengan Thorndike, Tyler dan Taba lebih cendrung pada
pendekatan Dewey dan Judd bahwa belajar didasarkan atas generalisasi dan
pengajaran prinsip-prinsip penting untuk menjelaskan fenomena-fenomena konkrit.
Tetapi Tyler dan Taba memberikan pengakuan pada Thorndike di dalam teks-teks
klasik mereka. Tyler membahas prinsip belajar terorganisir dan koneksionisme
yang sejalan dengan teori transfer Torndike. Taba malah membahas ‘transfer
belajar” serta pengaruh Thorndike dan ahli lain terhadap teori belajar ini.
Seperti Thorndike, Taba berpendapat bahwa praktik saja tidak memperkuat ingatan
atau transfer belajar. “Karena tidak ada satu program yang dapat mengajar
segala sesuatu, maka tugas semua pendidikan adalah menyebabkan jumlah transfer
yang maksimal dengan cara mengembangkan metode atau muatan yang mengarah
pada generalisasi dan yang memiliki nilai transfer luas; ini mengarah
pada pendapat Taba yang mendukung teknik pemecahan masalah dan penemuan.
Walaupun dipopulerkan oleh Bruner, gagasan “belajar bagaimana belajar” dan
“penemuan” berakar pada ide Thorndike. Thorndike, dan kemudian Bruner,
menganggap bahwa belajar yang melibatkan susunan pengalaman yang bermakna dapat
ditransferkan lebih baik daripada penghapalan. Semakin abstrak suatu
generalisasi dan prinsip, semakin mudah ditransfer. (Ini sejalan dengan ide
Dewey tentang pemikiran reflektif dan langkah-langkah yang dia susun
untuk pemecahan masalah).
Bagi Bruner, mempelajari struktur disiplin ilmu memberikan dasar untuk transfer
belajar yang spesifik. Perbedaan Thorndike dengan Bruner adalah bahwa bagi
Thorndike semua pelajaran sama pentingnya, sedangkan menurut Bruner sains dan
matematik lebih penting untuk mengajarkan struktur (Ornstein & Hunkins, 1988).
Pengkondisian
Klasik
Teori pengkondisian klasik menekankan bahwa belajar terdiri dari pemancingan
respon dengan stimulus netral. Eksperimen pengkondisian klasik dilakukan oleh
Ivan Pavlov terhadap seekor anjing yang dibunyikan bel setiap akan diberi makan
sehingga pada akhirnya, anjing tersebut mengasosiasikan bel dengan makanan.
Eksperimen ini memberikan banyak implikasi pada pembelajaran manusia. James
Watson menggunakan penelitian Pavlov ini sebagai pondasi untuk membangun ilmu
psikologi baru berdasarkan behaviorisme. Ilmu baru tersebut menekankan bahwa
belajar didasarkan atas ilmu prilaku yang bisa diukur atau diobseravsi, bukan
atas proses kognitif. Bagi Watson dan yang lainnya yang menjadi kunci belajar
adalah mengkondisikan anak seawal mungkin.
Pengkondisian
Operant
B.F. Skinner telah berusaha lebih banyak daripada behavioris lain untuk
menerapkan teorinya pada situasi di kelas. Atas dasar percobaannya dengan
seekor merpati, Skinner membedakan dua jenis respon: respon yang diidentifikaskan
dengan suatu stimulus yang jelas (elicited) dan respon yang kelihatannya
tidak terkait dengan stimulus yang jelas (emitted). Bila responnya
dipancing, maka prilaku disebut respondent; bila tidak dipancing,
prilaku itu disebut operant – artinya tidak ada stimulus yang
menjelaskan respon tersebut. Penguatan dapat dikelompokkan atas penguatan
primer, sekunder, atau umum. Penguatan primer berlaku pada stimulus yang
membantu memuaskan kebutuhan dasar seperti makanan, air dan seks. Penguatan
sekunder tidak memenuhi kebutuhan pokok tetapi tetap penting, seperti mendapat
pengakuan dari guru dan teman, mendapat hadiah juara sekolah, dan memperoleh
uang, dan bisa dikonversikan menjadi penguatan primer. Karena banyaknya
penguatan sekunder ini, Skinner menyebutnya penguatan umum (Ornstein &
Hunkins, 1988).
Prilaku operant akan terhenti bila tidak diikuti oleh penguatan. Skinner
membedakan penguatan atas penguatan positif dan negatif. Penguatan positif
hanyalah kemunculan stimulus yang menguatkan, dan penguatan negatif adalah
penarikan atau penghilangan stimulus. Walaupun Skinner percaya pada kedua
penguatan, dia menolak adanya hukuman karena akan menghalangi belajar.
Mendapatkan operant baru: modifikasi prilaku
Pendekatan Skinner tentang penguatan selektif, dimana hanya respon yang
diharapkan yang diberi penguatan, memiliki daya tarik yang luas bagi para
pendidik karena ia mendemonstrasikan penerapannya pada situasi belajar dan
pembelajaran. Suatu prinsip penting dalam interpretasi penguatan ini adalah
variabilitas prilaku manusia, yang memungkinkan terjadinya perubahan. Individu
dapat memperoleh operant baru – maksudnya prilaku bisa dibentuk atau diubah dan
konsep-konsep yang rumit bisa diajarkan kepada siswa. Prilaku baru dapat
dibentuk melalui kombinasi penguatan dan pengurutan respon yang diharapkan;
inilah yang sekarang disebut sebagian orang dengan modifikasi prilaku.
Pendekatan modifikasi prilaku ini digunakan bersamaan dengan teknik
pembelajaran individual dan teknik pengelolaan kelas. Dengan pendekatan ini,
kurikulum dapat didefinisikan dengan definisi yang dibuat Popham dan Baker,
yaitu “semua luaran yang direncanakan yang menjadi tanggung jawab sekolah” dan
“konsekuensi dari pembelajaran yang diharapkan.”
Belajar
Terprogram
Pendekatan penguatan yang selektif dan berurutan terhadap belajar mengarah pada
teori suplementer Skinner tentang pembelajaran dan belajar terprogram. Belajar
terprogram memberikan pendekatan langkah demi langkah terhadap belajar dengan
penguatan langsung, sering, dan teratur, yang mendorong pengeluaran
stimulus-respon berkelanjutan dan belajar berdasarkan tahapan-tahapan
kecil yang tidak bisa diberikan guru secara efektif. Kajian tahun 1960an
dan tahun 1970an memperlihatkan bahwa belajar terprogram ini tidak lebih
menguntungkan dibandingkan dengan belajar dengan guru dalam hal pemberian
penguatan (Ornstein & Hunkins, 1988).
Behaviorisme
dan Kurikulum
Behaviorisme memiliki dampak besar pada pendidikan. Pendidik yang menganut
paham behaviorisme dan yang juga terkait dengan kurikulum menggunakan
prinsip-prinsip prilaku untuk membimbing penciptaan program baru, seperti
membangun koneksi atas dasar pengalaman positif yang dimiliki siswa ketika
memperkenalkan topik atau kegiatan yang baru. Para behavioris percaya bahwa
kurikulum harus diorganisir sehingga siswa mengalami kesuksesan dalam menguasai
matapelajaran dan mereka sangat preskriptif dan diagnostik dalam pendekatan
mereka serta percaya pada metode belajar terstruktur tahap-demi-tahap. Untuk
siswa yang mengalami kesulitan belajar, kurikulum dan pembelajaran
dipecah-pecah menjadi satuan-satuan kecil dengan pengurutan tugas yang sesuai
dan penguatan atas prilaku yang diharapkan. Teori-teori behavioris ini dikritik
karena menjelaskan proses belajar terlalu sederhana dan mekanik.
Behaviorisme terus hidup dan berkembang sehingga sekarang terbukti dalam teori,
prinsip, atau kecendrungan yang terkait dengan
1)
tujuan prilaku dalam menulis, menilai, belajar, dan evaluasi,
2)
program latihan ketrampilan dasar dalam bahasa dan membaca,
3)
pendidikan individual,
4)
rancangan pembelajaran atau model rancangan sistem,
5)
program pelatihan guru,
6)
teknologi pendidikan, dan
7)
program perencanaan dan evaluasi (Ornstein & Hunkins, 1988)
Penekanan dengan pendekatan prilaku dan program-program ini adalah pada: (1)
remediasi, pemerolehan ketrampilan, belajar dasar dan lanjutan, (2) tujuan
jangka pendek dan jangka panjang yang didefinisikan dengan baik, (3)
mencocokkan materi pembelajaran dan media dengan kemampuan pembelajar, (4)
membentuk prilaku melalui tugas yang ditetapkan, kegiatan bertahap, pengawasan
melekat pada kegiatan, penguatan positif, dan (5) diagnosis, penilaian, dan
penilaian ulang kebutuhan siswa, tujuan, kegiatan, tugas, dan pembelajaran
(Ornstein & Hunkins, 1988).
Empat prinsip prilaku dasar diikuti dengan pendekatan dan program ini:
1)
waktu tugas – waktu untuk mengerjakan tugas tergantung pada kemampuan
pembelajar untuk menguasai belajar,
2)
pengulangan – praktik dan latihan dihubungkan dengan pemancingan respon yang
benar,
3)
penguatan – belajar diperkuat bila didasarkan pada pelajaran sebelumnya dan
(4) pembentukan – prilaku dan belajar bisa lebih mudah diperoleh melalui aproksimasi
suksesif atau serangkaian respon yang makin mendekati prilaku yang diharapkan
(Ornstein & Hunkins, 1988).
Perkembangan
Kognitif
Sekarang kebanyakan ahli psikologi mengelompokkan pertumbuhan dan perkembangan
manusia menjadi kognitif, sosial, psikologis, dan fisik dan mereka percaya
bahwa belajar di sekolah pada dasarnya banyak kognitif. Pertumbuhan dan
perkembangan mengacu pada perubahan dalam struktur dan fungsi karakteristik
manusia. Perubahan adalah hasil interaksi antara potensi bawaan dengan
lingkungan.
Tahap-tahap
Perkembangan Kognitif
Kebanyakan teori kognitif percaya bahwa pertumbuhan dan perkembangan terjadi
dalam tahapan yang progresif. Pandangan yang paling komprehensif tentang teori
ini dikemukakan oleh Jean Piaget dan ia menjelaskan perkembangan kognitif dalam
tahap-tahap dari lahir sampai dewasa, sebagai berikut:
1)
tahap sensorimotor (dari lahir sampai usia 2 tahun)
2)
tahap praoperasional (usia 2 – 7 tahun)
3)
tahap operasi kongkrit (usia 7 – 11 tahun)
4)
tahap operasi formal (usia 11 tahun ke atas) (Ornstein & Hunkins, 1988).
Tiga proses kognitif dasar membentuk dasar teori pengalaman dan lingkungan yang
diajukan Piaget dan Dewey. Bagi Piaget, assimilasi merupakan inkorporasi
pengalaman baru ke dalam pengalaman yang ada, akomodasi adalah pengubahan dan
penyesuaian struktur kognitif anak sebagai respon terhadap lingkungannya, dan
ekuilibrasi adalah proses mencapai keseimbangan antara hal-hal yang sudah
dipahami dengan yang akan dipahami. Ini bertepatan dengan konsepsi situasi dan
interaksi Dewey. Bagi Dewey, situasi mewakili pengalaman dari lingkungan, sama
dengan asimiliasi dan interaksi berkaitan dengan transaksi melintang yang
terjadi antara anak dan lingkungannya, termasuk kapasitasnya untuk membentuk
makna, sama dengan akomodasi. Kontinuitas mengacu pada belajar membujur atau
situasi dan interaksi yang mengikuti, sama dengan ekuilibrasi (Ornstein &
Hunkins, 1988).
Pengaruh
Piaget: Tyler, Taba, dan Bruner
Teori lingkungan Piaget (dan teori pengalaman pendidikan Dewey) membentuk dasar
lima prinsip belajar Tyler: (1) Siswa harus memiliki pengalaman belajar yang
memberikan kesempatan untuk praktik dan (2) kepuasan, (3) pengalaman
belajar harus cocok dengan kemampuan siswa saat itu, (4) banyak pengalaman
dapat digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang sama, dan (5) pengalaman
belajar yang sama biasanya akan memberi banyak luaran. Tiga proses kognitif
Piaget (dan tiga pengalaman pendidikan Dewey) juga menjadi dasar tiga metode
mengatur pengalaman belajar yang dikemukakan oleh Tyler: (1) kontinuitas yang
berarti bahwa kurikulum harus memiliki reiterasi vertikal – artinya,
ketrampilan dan konsep harus terjadi berulang-ulang dan harus ada
kesempatan yang berkelanjutan untuk mempraktikkan ketrampilan tersebut, (2)
urutan yang berarti bahwa kurikulum harus mencakup perkembangan pemahaman
yang progresif dan bahwa setiap pengalaman berikutnya dibangun atas pengalaman
sebelumnya, dan (3) integrasi yang mengacu pada hubungan horizontal
pengalaman-pengalaman kurikulum dan berarti bahwa susunan pengalaman harus
“disatukan” dalam kaitannya dengan unsur lain kurikulum yang sedang diajarkan
dan bahwa matapelajaran tidak boleh dipisahkan atau diajar sebagai sesuatu yang
terpisah dari matapelajaran lain.
Taba tidak hanya mereview empat tahap perkembangan kognitif yang dikemukakan
Piaget dan implikasinya pada perkembangan mental dan intelegensi, tetapi juga
menyimpulkan bahwa pengalaman belajar harus dirancang agar sesuai dengan
penilaian tingkat usia kapan proses berpikir tertentu muncul. Idenya adalah
mentransformasikan konsep dan matapelajaran yang rumit ke dalam operasi mental
yang cocok bagi pembelajar dan mengembangkan kurikulum yang menyediakan tingkat
berpikir yang lebih formal dan lebih mendalam. Membangun kurikulum yang seperti
itu akan melibatkan pemahaman yang lebih baik tentang hirarki (tahap-tahap)
pembentukan konsep dan operasi mental yang dikemukakan Piaget dan tentang
urutan dalam pengembangan pikiran.
Begitu juga, Taba mencatat proses kognitif Piaget – asimilasi, akomodasi, dan
ekuilibrasi – dalam diskusinya tentang generalisasi dan pemikiran abstrak. Dia
peduli dengan penyusunan kurikulum dan pengajaran pengalaman baru
sehingga dapat dibandingkan dengan pengalaman lama (asimilasi), beralih dari
pengalaman kongkrit ke konsep dan prinsip (akomodasi), dan mengelompokkan
serta memahami hubungan yang baru (ekuilibrasi). Dasar dari apa yang Taba sebut
“strategi kurikulum untuk belajar produktif” berakar dari sintesis pengalaman
ke dalam bentuk dan tingkat yang lebih kompleks yang disampaikan Piaget.
Bagi Bruner, belajar bagaimana segala sesuatu berhubungan berarti belajar
struktur pengetahuan. Belajar yang demikian didasarkan atas ide Piaget
tentang asimilasi dan akomodasi. Struktur pengetahuan tersebut memberikan dasar
untuk transfer belajar. Ekuilibrasi Piaget membentuk dasar gagasan Bruner
tentang “kurikulum spiral”: belajar sebelumnya adalah dasar untuk belajar
selanjutnya, bahwa belajar harus berlanjut, dan bahwa matapelajaran berhubungan
dengan dan dibangun atas suatu pondasi. Bruner juga dipengaruhi oleh Dewey yang
menggunakan istilah kontinuitas dalam belajar untuk menjelaskan bahwa apa yang
seseorang telah pelajari menjadi instrumen pemahaman situasi berikutnya.
Bruner menganggap bahwa tindakan belajar terdiri atas tiga proses yang
berkaitan, sama dengan proses kognitif Piaget:
1)
akuisisi adalah memahami informasi baru; ini biasanya berkorespondensi dengan
asimilasi;
2)
transformasi ialah kapasitas individu untuk memproses informasi baru. Proses
ini tumpang tindih dengan akomodasi.
3)
evaluasi ialah penentuan apakah informasi telah diproses. Ini bekorespondensi
dengan ekuilibrasi (Ornstein & Hunkins, 1988).
Yang penting bagi pendidikan ialah bahwa guru (serta ahli psikologi pendidikan
dan ahli kurikulum) harus menentukan penekanan yang tepat yang akan diberikan
kepada tahap-tahap pengembangan kognitif dan prose berpikir ala Piaget. Proses
kognitif Piaget tumpang tindih dengan metode Tyler, strategi Taba, dan proses
Bruner. Kemampuan mencocokkan pengalaman belajar yang tepat dengan keempat
tahapan pengembangan Piaget dan ketiga proses berpikir sangat penting bagi guru
SD karena selama perode SD inilah anak-anak beralih dari tahap dua ke tahap
tiga dan tahap empat.
Tingkat
Berpikir
Berpikir bisa dikelompokkan dalam beberapa cara. Salah satu cara ialah dengan
tingkat-tingkat yang bersifat teoretis dan developmental. Robert Gagne telah
menyajikan urutan tujuh jenis belajar atau kemampuan sebagai berikut:
1)
belajar tanda (pengkondisian klasik; respon terhadap sinyal yang diberikan),
2)
stimulus-respon (pengkondisian operant; respon terhadap stimulus),
3)
rangkaian motor (menghubungkan dua atau lebih satuan verbal stimulus-respon
untuk membentuk ketrampilan yang kompleks),
4)
diskriminasi ganda (merespon dengan cara berbeda ke butir yang berbeda
dlam satu set tertentu) ,
5)
konsep (bereakasi terhadap stimulus dengan cara yang abstrak),
6)
aturan (menghubungkan dua atau lebih konsep), dan
7)
pemecahan masalah (menghubungkan aturan atau prinsip yang diketahui ke dalam
unsur-unsur baru untuk memecahkn masalah) (Ornstein & Hunkins, 1988).
J.
P. Guilford mengembangkan model faktor-faktor kognitif ganda yang
mengklasifikasikan kemampuan mental atas tiga dimensi sebagai berikut:
1.
Operasi: operasi mental yang berhubungan dengan pemerosesan muatan tertentu.
Ini terdiri atas evaluasi, berpikir konvergen, berpikir divergen, dan kognisi.
- Produk: operasi mental yang berhubungan dengan aplikasi operasi terhadap muatan. Ini terdiri atas satuan, kelas, sistem, transformasi, dan implikasi.
- Muatan: operasi mental yang menyangkut informasi dan pemahaman. Ini terdiri atas gambar, simbol, semantik., dan muatan prilaku.
Pemecahan
Masalah/Berpikir Kreatif
Sejak era Sputnik, banyak ahli teori kurikulum telah membaharui penilaian
mereka terhadap berbagai aspek pemecahan masalah dan berpikir kreatif.
Persamaan keduanya ialah sama-sama mencakup bentuk pengolahan informasi paling
canggih. Salah satu pendapat yang bertentangan ialah bahwa pemecahan masalah
(dulu disebut berpikir reflektif) didasarkan atas berpikir induktif, prosedur
analitik, dan proses konvergen. Berpikir reatif iadaskan atas berpikir
deduktif, orisinalits, dan proses divergen. Dalam pandangan yang kedua ini,
pemecahan masalah kondusif untuk berpikir rasional dan ilmiah dan merupakan
metode untuk sampai pada solusi sementara kreativitas kondusif untuk berpikir
artistik dan sastra dan meupakan kualitas pikiran (Ornstein & Hunkins,
1988: 96). Mungkin hal yang paling penting untuk dicatat ialah bahwa tugas
kognitif yang kompleks ini harus diajarkan sebagai ketrampilan umum dan
prinsip-prinsip – yang relevan dengan semua pokok permasalahan. Idenya adalah
untuk mengembangkan strategi metakognitif yang dapat ditransfer siswa ke banyak
wilayah kurikulum.
Berpikir
Reflektif
Pemecahan masalah memainkan peran utama dalam konsep pendidikan Dewey. Ia tidak
hanya percaya bahwa pemecahan masalah di sekolah dapat mengembangkan
intelegensi dan pertumbuhan sosial, tetapi juga bahwa ketrampilan yang
dikembangkan dalam pemecahan masalah dapat ditransferkan ke pemecahan masalah
sehari-hari. Konsep pemecahan masalah Dewey berakar dari idenya tentang
metode ilmiah dan telah menjadi model klasik:
1)
menyadari adanya kesulitan,
2)
mengidentifikasi masalah,
3)
menggodok dan mengelompokkan data dan membentuk hipotesis,
4)
menerima atau menolak hipotesis tentatif,
5)
membentuk kesimpulan dan mengevaluasinya.
Metode
pemecahan masalah ini bertepatan dengan kepercayaan kuat Dewey pada ilmu
pendidikan. Karena Dewey menganggap bahwa fungsi sekolah adalah meningkatkan
proses pemikiran, ia merekomendasikan adaptasi metode pemecahan masalah ini ke
pelajaran lain pada semua level.
Banyak juga yang mengkritik metode pemecahan masalah Dewey ini karena
menghasilkan miskonsepsi bahwa ilmuwan selalu punya formula untuk menemukan
jawaban masalah praktis. James Conant, misalnya, mendefinisikan pemecahan
masalah sebagai rangkaian 6 tahap yang bisa digunakan di labor atau oleh orang
biasa untuk memecahkan masalah sehari-hari:
1)
mengenali masalah dan membentuk tujuan,
2)
mengumpulkan informasi yang relevan,
3)
membentuk hipotesis,
4)
menyimpulkan dari hipotesis,
5)
mengggunakn tes dengan percobaan aktual,
6)
tergantung pada luaran, menerima, memodifikasi, atau menolak hipotesis.
Kedua model ini dan turunannya dianggap banyak peneliti tidak lengkap. Pertama,
karena analisis muncul setelah orang memecahkan masalah. Kedua, model tersebut
mengabaikan intuisi, pandangan, dan ide (Ornstein & Hunkins, 1988: 97).
Teori proses kognitif saat ini menyatakan bahwa langkah-langkah yang logis dan
bisa diobservasi tidak selalu digunakan dalam pemecahan masalah, dan
tahap-tahap terebut tidak selalu berkaitan.
Berpikir
Kritis
Berpikir kritis dan ketrampilan berpikir adalah istilah yang digunakan sekarang
untuk mengartikan pemecahan masalah. Walaupun banyak prosedur mengajar, program
pelatihan guru, dan taksonomi berpikir kritis telah muncul pada tahun-tahun
terakhir, pendapat terakhir ialah bahwa berpikir kritis adalah suatu bentuk
inteligensi yang bisa diajarkan (ia bukan entitas yang tetap). Pendukung aliran
ini ialah Matthew Lipman dan Robert Sternberg. Lipman berusaha membantu
perkembangan 30 ketrampilan kritis, yang umumnya dirancang untuk tingkat SD.
Siswa-siswa didorong untuk mengembangkan, misalnya:
1)
konsep,
2)
generalisasi,
3)
hubungan sebab-akibat,
4)
inferensi alogistik,
5)
konsistensi dan kontradiksi,
6)
analogi,
7)
hubungan bagian-keseluruhan dan keseluruhan-bagian,
8)
formulasi masalah,
9)
membalikkan pernyataan logis, dan
10)
aplikasi prinsip ke situasi kehidupan nyata.
Sternberg menjelaskan tiga proses mental yang meningkatkan kemampuan berpikir
kritis: (1) komponen-komponen meta – proses mental tingkat tinggi yang
digunakan untuk merencanakan apa yang akan kita lakukan, memonitor apa yang
sedang kita lakukan, dan mengevaluasi apa yang sedang kita lakukan; (2)
komponen performansi – langkah aktual atau strategi yang kita ambil; dan (3)
komponen pemerolehan pengetahuan – proses yang digunakan untuk menghubungkan
materi lama dengan materi baru dan untuk mengaplikasikan dan menggunakan materi
baru.
Beberapa pendidik membantah pendapat Lipman dan Sternberg karena menurut mereka
ketrampilan berpikir kritis itu sangat kompleks dan tidak bisa dipecah-pecah
menjadi proses-proses kecil. Penganut teori humanistik dan fenomenologi percaya
bahwa mengajar orang berpikir sama dengan mengajar orang mengayun tongkat golf;
melibatkan pendekatan yang menyeluruh bukan usaha sebagian-sebagian (Ornstein
& Hunkins, 1988).
Kritikan utama muncul dari pendukung metode itu sendiri. Sternberg
memperingatkan bahwa jenis berpikir kritis yang kita tekankan di sekolah dan
cara kita mengajarkannya “tidak mempersiapkan siswa dengan cukup untuk
menghadapi jenis masalah yang akan mereka temui dalam kehidupan nyata.” Kita
percaya bahwa karena program ketrampilan kritis kita menekankan jawaban “benar”
dan butir-butir ujian yang “bisa diskor secara objektif”, siswa dialihkan dari
relevansi dunia nyata. Kebanyakan masalah dalam kehidupan nyata memiliki
implikasi sosial, ekonomi, dan psikologis yang melibatkan hubungan antarpribadi
dan penilaian tentang orang, stress dan krisis pribadi, dilema yang melibatkan
pilihan, tanggung jawab, dan keberlangsungan hidup. Bagaimana menangani semua
itu tidak ada hubungannya dengan cara kita berpikir di dalam kelas atau dengan
cara menjawab soal-soal tentang berpikir kritis. Dengan menekankan ketrampilan
kognitif di dalam kelas, berarti kita mengabaikan realitas dan lingkungan
pergaulan kehidupan (Ornstein & Hunkins, 1988).
Berpikir
Kreatif
Tes baku tidak selalu mengukur kreativitas dengan akurat, kenyataannya kita
memiliki kesulitan dalam menyetujui apa sebenarnya kreativitas itu dan siapa
yang kreatif. Ada banyak jenis kreativitas – atistik, musik, sains, kerajinan
tangan, dan lain-lain. Siswa kreatif sering tidak mendapat perhatian penuh dari
guru dan ahli kurikulum karena jumlah mereka yang sedikit. Biasanya mereka
digabungkan saja dengan siswa berinteligensi tinggi, padahal intelegensi tinggi
dan kreativitas tinggi tidak selalu berkaitan (Ornstein & Hunkins, 1988).
Kesepakatan tentang definisi kreativitas sangat sedikit, kecuali bahwa semua
percaya kreativitas mewakili kualitas pikiran. Ia terdiri atas komponen
kognitif dan humanistik dalam belajar. Menurut Carl Rogers, esensi kreativitas
adalah kebaruannya. Eric Fromm mendefinisikan sikap kreatif sebagai (1) kemauan
untuk bingung – untuk mengorientasikan dirina pada sesuatu yang baru tanpa
merasa frustasi; (2) kemampuan berkonsentrasi; (3) kemampuan mengalami sendiri
sebagai orisinator tulen tindakannya; dan (4) kemauan menerima konflik dan
tekanan yang disebabkan oleh iklim opini atau kurangnya toleransi terhadap
ide-ide kreatif (Ornstein & Hunkins, 1988). Bagi guru, definisi kreativitas
adalah bagaimana ide-ide baru memiliki asalnya. Kreativitas berkaitan dengan
proses logis dan dapat diobservasi dan proses tak sadar dan tidak dapat
dikenali.
Berpikir
Intuitif
Berpikir intuitif bukanlah hal baru, tetapi proses berpikir ini tidak didukung
karena praktik pedagogik tradisional mengandalkan fakta dan hapalan atau
diabaikan karena susah mendefinisikan dan mengukurnya. Bruner mempopulerkan ide
ini dalam bukunya Process of Education. Pemikir yang baik
tidak hanya memiliki pengetahuan tetapi juga pemahaman intuitif tentang pokok
persoalan. Berpikir intuitif adalah bagian dari proses penemuan. Ia tidak ada
hubungannya dengan pendekatan tahap-demi-tahap atau konvergen tetapi dengan
penemuan yang dipasangkan dengan kemampuan menempatkan pengetahuan yang akan
digunakan dan menemukan cara-cara baru untuk membuat kecocokan. Menurut
interpretasi ini, pemecahan masalah dan penemuan bebas datang bersama;
pengetahuan bersifat dinamis, dibangun di seputar proses penemuan, tanpa
langkah atau aturan pasti yang akan diikuti (Ornstein & Hunkins, 1988:
101).
Belajar
melalui Penemuan
Sejak zaman Sputnik, metode penemuan (inquiry-discovery) telah dikaji
dalam hubungannya dengan kurikulum yang berpusat pada disiplin ilmu – sebagai
unsur penyatu yang berkaitan dengan pengetahuan dan metodologi ranah
kajian. Taba, Bruner, Phenix, dan Inlow adalah produk dari zaman ini. Taba
dipengaruhi oleh Bruner, Phenix dipengaruhi oleh keduanya, dan Inlow
dipengaruhi oleh ketiganya. Keempat pendidik ini lebih peduli dengan bagaimana
kita berpikir bukan dengan apa yang kita pikirkan atau pengetahuan apa
yang kita miliki.
Walaupun Bruner menggabungkan metode inkuiri-diskoveri dalam sains dan
matematik. Phenix, Taba, dan Inlow mengklaim bahwa diskoveri terpisah dari
inkuiri dan kedua metode berpikir tersebut melintasi semua matapelajaran (bukan
hanya sains dan matematik) (Ornstein & Hunkins, 1988). Phenix, misalnya
mengusulkan bahwa diskoveri adalah bentuk inkuiri yang berhubungan dengan
pengetahuan, hipotesis, dan dugaan-dugaan baru dan inkuiri adalah metode
membuat, mengatur, menganalisis, dan mengevaluasi pengetahuan (seperti
pemecahan masalah). Inkuiri dianggap menyatukan semua aspek pengetahuan yang
terpisah ke dalam disiplin ilmu yang koheren; ia dianggap lebih penting
daripada diskoveri. Taba dan Inlow membedakan belajar melalui
diskoveri dengan belajar kongkrit dan verbal. Kebanyakan belajar tradisional
dijelaskan sebagai suatu proses mentransmisikan informasi kongkrit dan verbal
kepada pembelajar; berpusat pada otoritas, berpusat pada matapelajaran, sngat
terstruktur, sangat terorganisir, juga fleksibel dan terbuka. Sebaliknya, diskoveri
melibatkan eksplorasi ekstensif hal-hal yang kongkrit pada level dasar.
Bruner yang terkenal telah mengelaborasi ide diskoveri mendefinisikannya
sebagai belajar yang terjadi ketika siswa tidak disuguhi dengan matapelajaran
dalam bentuk finalnya, ketika matapelajaran tidak diorganisir oleh guru tetapi
oleh siswa-siswa sendiri. Diskoveri adalah pembentukan sistem pengkodean yang
dengannya siswa menemukan hubungan yang ada di antara data yang disajikan.
Karakteristik paling nyata dari diskoveri sebagai teknik mengajar adalah
bahwa sesudah tahap awal ia membutuhkan input atau bimbingan guru yang
lebih sedikit dibandingkan dengan strategi lain. Diskoveri kurang terpusat pada
guru dan siswa memiliki tanggung jawab atas belajarnya sendiri. Agar menjadi
bagian diskoveri, belajar harus bisa ditransfer. Kebertransferan yang meningkat
dibuktikan oleh apa yang disebut Bruner “potensi intelektual” (Ornstein &
Hunkins, 1988).
Kognisi
dan Kurikulum
Kebanyakan ahli kurikulum, dan ahli teori belajar dan guru, cendrung
berorientasi kognitif karena: (1) pendekatan kognitif memiliki metode yang
logis untuk mengorganisir dan menginterpretasi belajar, (2) pendekatan
ini berakar dari tradisi matapelajaran, dan (3) pendidik telah dilatih
dalam pendekatan kognitif dan memahaminya lebih baik. Guru yang memiliki gaya
mengajar terstruktur akan lebih menyukai metode pemecahan masalah, berdasarkan
berpikir reflektif dan metode ilmiah.
John Goodlad telah mengunjungi lebih dari 1000 SD dan sekolah menengah dan
menemukan bahwa pembelajaran berpusat pada guru dan siswa tidak dilibatkan
dalam pemecahan masalah. Pembelajaran yang ril dan bermakna jarang terjadi di
sekolah yang dia kunjungi. Ahli kurikulum harus memahami bahwa sekolah
harus menjadi suatu tempat di mana siswa tidak merasa takut mengajukan
pertanyaan, tidak takut salah, tidak takut tidak menyenangkan hati guru, dan
tidak takut mengambil resiko kognitif dan bermain dengan ide. Dengan semua
teori kognitif kita, kita mengharapkan siswa mau belajar dan tahu bagaimana
belajar, tetapi kita mengobservasi bahwa setelah beberapa tahun sekolah
kebanyakan siswa telah belajar untuk tidak belajar (Ornstein & Hunkins,
1988).
Psikologi
Humanistik/Fenomenologi
Ahli psikologi tradisional tidak mengenal psikologi humanistik atau
fenomenologi sebagai suatu aliran psikologi. Menurut mereka ahli psikologi itu
sudah humanis karena selalu peduli dengan orang dan dengan meningkatkan
kualitas masyarakat. Lagipula, mereka mengklaim bahwa label humanisme seharusnya
tidak digunakan sebagai topeng untuk generalisasi berdasarkan sedikit
pengetahuan dan penelitian “lembut”. Sejumlah observer telah memandang
fenomenologi (kadang-kadang disebut psikologi hmanistik), sebagai teori belajar
“kekuatan ketiga” – setelah behaviorisme dan pengembangan kognitif.
Fenomenologi kadang-kadang dianggap sebagai teori kognitif karena ia
menekankan organisme total atau orang.
Beda yang paling nyata dengan pandangan behaviorisme mekanistik dan
deterministik adalah versi belajar fenomenologis, yang digambarkan dengan
kepedulian individu bahwa ia adalah seseorang yang memiliki perasaan dan sikap,
yang mengalami stimulus, dan yang bertindak terhadap lingkungan (Ornstein &
Hunkins, 1988).
Ahli fenomenologi mengemukakan bahwa cara kita memandang diri kita sendiri
adalah dasar untuk memahami prilaku kita. Apa yang kita lakukan, bahkan
seberapa banyak kita belajar, ditentukan oleh konsep kita tentang diri kita
sendiri (konsep diri)
Teori
Gestalt
Ide-ide ahli fenomenologi berakar dari teori-teori lapangan yang memandang
organisme total dalam hubungan dengan lingkungan, atau apa yang disebut
“lapangan”, dan persepsi siswa tentang lingkungan. Teori lapangan diturunkan
dari psikologi Gestalt tahun 1930-an dan 1940-an. Kata Gestalt (bahasa Jerman)
berkonotasi dengan rupa, bentuk, dan konfigurasi. Dalam konteks ini stimulus
dipahami dalam hubungan dengan yang lain-lain dalam satu lapangan. Apa
yang dipahami seseorang akan menentukan makna yang dia berikan pada lapangan;
begitu juga, solusi seseorang terhadap satu masalah tergantung pada
pengenalannya terhadap hubungan antara stimlus dan keseluruhannya. Inilah yang
dianggap sebagai hubungan berdasarkan lapangan (filed-ground relationship).
Jadi, faktor yang penting dalam belajar adalah menstrukturisasi dan
merestrukturisasi hubungan-hubungan lapangan untuk membentuk pola-pola yang
selalu berubah. Atas dasar ini, belajar menjadi kompleks dan abstrak. Ahli
kurikulum harus memahami bahwa pembelajar memahami sesuatu dalam hubungannya
dengan yang lain-lain dalam suatu keseluruhan, dan apa yang mereka pahami
terkait dengan pengalaman mereka sebelumnya (Ornstein & Hunkins, 1988).
Maslow:
Orang-orang yang Mengaktualisasikan Diri
Abraham Maslow, ahli fenomenologi terkenal, telah menyusun teori klasik tentang
kebutuhan manusia. Menurutnya, berdasarkan hirarki kepentingannya, kebutuhan
terdiri atas:
1)
kebutuhan fisik,
2)
kebutuhan akan keselamatan,
3)
kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki,
4)
kebutuhan akan harga diri,
5)
kebutuhan mengaktualisasikan diri, dan
6)
kebutuhan mengetahui dan memahami. Semua kebutuhan ini memiliki implikasi pada
belajar dan mengajar. Anak yang kebutuhan pokoknya tidak terpenuhi tidak akan
tertarik memperoleh pengetahuan (Ornstein & Hunkins, 1988). Ide Maslow
tentang aplikasi di kelas ini sebagiannya didasarkan atas ide Pestalozzi dan
Froebel yang percaya akan pentingnya emosi manusia dan metodologi yang
berdasarkan kepercayaan dan cinta.
Maslow menciptakan istilah Psikologi Humanistik yang menekankan tiga prinsip
pokok: (1) memusatkan perhatian pada orang yang mengalami dan kemudian
memfokuskan pengalaman sebagai fenomena pokok dalam belajar, (2) menekankan
kualitas manusia seperti pilihan, reativitas, dan realisasi diri, sebagai lawan
dari memikirkan orang dalam istilah mekanistik dan belajar dalam istilah
kognitif, dan (3) menunjukkan perhatian penuh pada martabat dan nilai orang dan
minat terhadap perkembangan psikologis serta potensi manusia sebagai individu.
Peran guru dan pembuat kurikulum dalam skema ini adalah memandang siswa sebagai
orang yang utuh. Bagi Maslow, tujuan pendidikan adalah menghasilkan pembelajar
yang sehat dan bahagia yang bisa menyempurnakan tugasnya; tumbuh, dan
mengaktualisasikan dirinya sendiri. Orang yang mengaktualiasikan diri tersebut
matang an sehat secara psikologis, dan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1)
memiliki persepsi yang efisien tentang realitas,
2)
merasa nyaman dengan dirinya sendiri dan dengan orang lain,
3)
tidak dibebani rasa bersalah, malu, dan cemas,
4)
spontan dan alamiah,
5)
berpusat pada masalah bukan pada diri (Ornstein & Hunkins, 1988).
Rogers:
Belajar Nondirektif dan Terapetik
Carl Rogers, ahli fenomenologi yang mungkin paling menonjol, telah menciptakan
prosedur konseling dan metode untuk memfasilitasi belajar. Idenya didasarkan
atas teori lapangan dan teori yang berdasarkan lapangan yang mengatakan bahwa
realitas dlh pa yang dipahami siswa. Konsep realitas ini harus membuat guru
sadar bahwa level dan jenis respon terhaap suatu pengalaman akan berbeda di
antara anak-anak.
Rogers menganggap terapi sebagai metode belajar yang harus digunakan oleh guru
dan pekerja kurikulum. Ia percaya bahwa hubungan manusia yang positif memungkinkan
orang bertumbuh; karena itu, hubungan antarpribadi di antara pembelajar sama
pentingnya dengan skor kognitif. Kurikulum berkaitan dengan proses, bukan
produk; kebutuhan pribadi, bukan matapelajaran,; makna psikologis, bukan skor
kognitif; dan situasi lingkungan yang berubah (dalam hal ruang dan waktu),
bukan lingkungan yang tetap (Ornstein & Hunkins, 1988).
Klarifikasi
Nilai
Klarifikasi nilai, kadang-kadang disebut juga membangun nilai, adalah bagian
dari proses belajar guru. Ahli klarifikasi nilai sangat menghargai kreativitas,
kebebasan, dan realisasi diri. Mereka lebih menyukai siswa yang mengekplorasi
sendiri keinginan-keinginan mereka dan membuat pilihan-pilihan mereka.
Nilai yang dianut seseorang tergantung pada banyak faktor, termasuk lingkungan,
pendidikan, dan kepribadian. Klarifikasi nilai dirancang untuk membantu orang
mengatasi kebingungan nilai (dg gejala: apatis, tidak yakin, tidak konsisten,
dll) sehingga menjadi lebih positif, bertujuan, dan produktif, serta memiliki
hubungan antarpribadi yang makin baik.
Louis Raths dan kawan-kawannya menguraikan proses memberi nilai sebagai
berikut: (1) memilih dengan bebas, (2) memilih dari berbagai alternatif, (3)
memilih dengan bijaksana, (4) menghargai, (5) meyakini, (6) bertindak atas
pilihan, dan (7) mengulang sebagai pola hidup (Ornstein & Hunkins, 1988).
Ada banyak cara mengajarkan nilai. Yang pertama adalah menanamkan (inculcation),
yaitu mengajarkan nilai-nilai yang diterima dengan dukungan hukum adat. Yang kedua
adalah membangun moral, yaitu memperjelas prinsip-prinsip moral dan etika serta
aplikasinya. Yang ketiga ialah analisis isu dan situasi yang melibatkan nilai.
Yang keempat adalah klarifikasi, metode yang ditekankan Raths. Dan yang kelima
adalah belajar bertindak, yaitu mencobakan dan menguji nilai-nilai dalam
situasi kehidupan nyata.
Pendekatan yang digunakan oleh Abraham Maslow dan Carl Rogers ini bisa
diuraikan sebagai evokasi, yaitu membangkitkan nilai-nilai pribadi pembelajar
dan kemmapuan membuat pilihan dan menjadi aktualsasi diri. Walaupun
penekanannya pada sikap dan perasaan serta proses manusiawi, komponen kognitif
tetap ada dalam klarifkasi nilai.
Fenomenologi
dalam Kurikulum
Ahli fenomenologi memandang individu dalam hubungan dengan lapangan di mana ia
beroperasi, tetapi yang menentukan prilaku dan belajar justru aspek psikologis.
Para ahli fenomenologi mencoba memahami apa yang terjadi di dalam diri kita –
kebutuhan, keinginan, harapan, perasaan, nilai, dan cara kita memahami. Ide
tentang kebebasan pribadi merpakan isu penting dalam fenomenologi/psikologi
humansitik. Ide kebebasan ini merupakan sari dari tesis Rogers tentang belajar.
Semakin sadar atau peduli anak-anak dengan kebebasan mereka, semakin banyak
kesempatan mereka untuk menemukan dirinya sendiri dan berkembang sebagai
manusia seutuhnya. Pembuat kurikulum harus meningkatkan kesempatan dan pilihan
bagi siswa untuk belajar tanpa mengurangi otoritas guru. Idenya adalah
merancang kurikulum yang membantu pembelajar menyadari potensi maksimal mereka
dalam lingkungan belajar humanisik yang memperhatikan prilaku dan kognitif
(Ornstein & Hunkins, 1988).
Karena setiap individu memiliki kebutuhan dan minat khusus terkait dengan
pemenuhan dirnya dan realisasi dirinya, maka tidak ada kurikulum
humanistik yang baku. Siswa bisa belajar melalui pengalaman, pokok
permasalahan, dan ketrampilan ntelektual yang perlu untuk mencapai potensi
penuh. Ilmu sSastra dan seni, khususnya filsafat, psikologi dan estetika
merupakan muatan yang tepat karena meningkatkan introspeksi, refleksi, dan
kreativitas. Kurikulum yang menekankan sikap dan perasaan juga bisa diterima.
Matematik dan sains dianggap tidak perlu. Yang lebih penting ialah hubungan
siswa-guru harus didasarkan atas kepercayaan dan kejujuran. Siswa boleh memilih
apa yang akan dikerjakan dan bagaimana mengerjakan tetapi harus bertanggung
jawab atas ide dan pekerjaannya.
Penganut paham rekonstruksionisme menerima paham fenomenologi ini karena ia
menghargai keunikan dan pribadi manusia serta kelas yang memiliki kebebasan.
Kelemahan teori humanistik fenomenologi adalah kurangnya perhatian mereka pada
belajar kognitif. Ketika disuruh menilai keefektifan kurikulum mreka, ahli
fenomenologi hanya berpijak pada testimoni dan penilaian subjektif oleh siswa
dan guru serta hasil karya siswa atau peningkatan prilaku siswa (Ornstein &
Hunkins, 1988).
Dapat disimpulkan bahwa psikologi memiliki dampak berarti pada belajar, yang
merupakan komponen utama kurikulum. Ada tiga teori psikologi yang telah dibahas
pada bab ini, behaviorisme, pengembangan kognitif, dan fenomenologi.
Behaviorisme adalah teori belajar tertua dan sekarang direpresentasikan dalam
bentuk pengajaran mikro, model latihan pembelajaran, pembelajaran langsung,
belajar penguasaan, dll. Terkait behaviorisme ada pengkondisian klasik dan
pengkondisian operant.
Teori belajar pengembangan kognitif adalah aliran kedua yang berkembang pesat
dalam 20 sampai 30 tahun terakhir. Ini berkaitan dengan meningkatnya pengaruh
Piaget di antara ahli-ahli psikologi Amerika dan meningkatnya penerimaan
terhadap lingkungan sebagai penjelasan atas pertumbuhan dan perkembangan
kognitif. Teori belajar kognitif kondusif untuk menjelaskan berbagai
tingkatan berpikir manusia, termasuk berpikir konsep, pemecahan masalah, dan
kreativitas. Kebanyakan teori belajar sekarang berorientasi ada kognisi.
Fenomenologi atau psikologi humanistik dapat dianggap teori belajar
ketiga dan paling baru. Penekanannya ada pada sikap dan perasaan,
aktualisasi diri, kebebasan untuk belajar, dan klarifikasi nilai, sehingga
tumpang tindih dengan filsafat eksistensialisme. Masing-masing teori belajar
ini tidak lengkap, tetapi gabungan ketiganya akan bekontribusi besar dalam
menjelaskan berbagai aspek prilaku dan prose belajar di dalam kelas dan di
sekolah.
No comments:
Post a Comment